Semiotika pada fotografi

Nama : Muhammad Ricky Septiansyah 

Kelas  : R4B

Npm.  : 202246500094



Pendahuluan

Fotografi sebagai bentuk visual yang diciptakan manusia tak luput dari sasaran kajian semiotika. Dalam kacamata semiotika, foto sendiri merupakan kumpulan teks, kumpulan tanda.

Pendekatan semiotik merupakan sebuah pendekatan yang memiliki sistem sendiri, berupa sistem tanda. Tanda itu dalam sastra khususnya sastra tulis diberikan dalam suatu bentuk teks, baik yang terdapat di dalam struktur teks maupun di luar struktur teks karya tersebut.

Tujuan dari semiotik adalah untuk memahami makna yang terdapat pada simbol/lambang atau menjelaskan maknanya, sehingga seseorang tahu bagaimana cara menyampaikan pesan kepada pengirim atau penerima pesan (dalam hal ini berupa tanda atau lambang).

Banyak tokoh kajian budaya dan media menempatkan semiotika sebagai salah satu perangkat analisis atau membaca teks-teks budaya. Semiotika yang awal kemunculannya merupakan bagian dari kajian linguistik terus berkembang, merambah obyek material lain di luar bahasa literal sebagai bahan kajiannya. Fotografi sebagai bentuk visual yang

diciptakan manusia tak luput dari sasaran kajian semiotika. Dalam kacamata semiotika, foto sendiri merupakan kumpulan teks, kumpulan tanda. Salah satu esensi semiotika adalah memahami bagaimana tanda-tanda, memahami struktur, serta proses pembentukan pesan dan makna melalui ’tanda’. Secara sederhana, tanda (sign) adalah sesuatu (obyek, suara, gambar dan obyek-obyek indrawi lainnya) yang mewakili sesuatu yang lain.

Fotografi sebagai sebuah medium, dengan berbagai variabelnya memang sudah dianggap sebagai bentuk bahasa tersendiri, memiliki kaidah-kaidah, kosa-visual dan gramatika yang sadar ataupun tidak digunakan oleh para pemotret. Walaupun memang banyak perbedaan dalam cara menulis dan membaca antara bahasa literal dan bahasa fotografi sebagai bagian dari bahasa visual. 

Pada bahasa literal Barat pada umumnya, misalnya, tulisan dibaca dari kiri ke kanan; dalam budaya Asia, dikenal cara penulisan dari atas ke bawah dan dari kanan ke kiri. Ke mana pun arahnya, bahasa literal ditulis, dibaca, dan diucap secara searah/linear. Berbeda halnya dengan bahasa visual, yang bisa dapat dibaca, ditafsir secara acak dan simultan, cenderung sangat multitafsir/polisemik.

"Trick effect”

Bagi yang tidak teliti membaca tulisan Barthes, mungkin akan mengira bahwa trick effects di sini dengan pengertian masa kini, yaitu pemberian efek khusus pada foto. Sebenarnya yang dimaksud trick effects oleh Barthes adalah rekayasa/manipulasi foto untuk membelokkan pesan denotatif sehingga menghasilkan pesan konotatif baru. Mungkin istilah yang lebih pas dengan masa kini adalah composite photo dan foto-foto yang di-retouch secara natural. Contohnya adalah sebuah foto yang beredar luas di pers Amerika pada 1951, yang membuat Senator Millard Tydings kehilangan kursinya. Beredar foto palsu sang senator bercakap dengan pemimpin komunis Earl Browder. Foto ini menjadi contoh foto denotasi yang dikonotasikan.

"Pose dan obyek"

Hampir semua obyek dan pose makhluk di dunia ini memiliki sejarah dan asosiasi. Narasi sejarah dan asosiasi itulah yang menjadikan pose dan obyek menjadi konotator foto. Spektator atau masyarakat pembaca foto sudah memiliki stok pengetahuan kultural untuk membaca dan memaknai foto. Ada historical grammar yang berlaku pada pose. Obyek buku dan pose seseorang yang sedang duduk membaca buku, contohnya, dapat diasosiasikan dengan intelektualitas, keberaksaraan, dan konotasi-konotasi lainnya. Tentu pemaknaan itu juga akan lebih terarah bila kita melihat langsung pada contoh foto karena susunan obyek juga akan berpengaruh besar. Setiap obyek memiliki asosiasi ide yang dikaitkan dengan hal-hal di luar dirinya. Dari sanalah pesan konotasi hadir.

"Photegenia

Belum ditemukan padanan photogenia dalam bahasa Indonesia, tetapi berdasarkan pemaparan Barthes, photogenia berkaitan dengan aspek-aspek teknis khas fotografi dan media visual lainnya, contohnya eksposur, pencahayaan, ruang tajam, bokeh. Wujud dari aspek teknis ini menjadi leksikon atau perbendaharaan visual yang diasosiasikan dengan gagasan-gagasan tertentu. Cahaya dari bawah dan kontras tinggi, misalnya, mengarahkan asosiasi pada kondisi seram, mencekam, dan dramatis.

Ikon tanpa kode adalah bagian lain dari teori pemahaman gambar Barthes. Tanpa kode tidak ada hubungannya dengan emosi dari gambar secara keseluruhan. Ini adalah denotasi "harfiah", pengenalan objek yang dapat diidentifikasi dalam foto, terlepas dari kode sosial yang lebih luas. Menggunakan contoh semangkuk buah, foto ini hanyalah semangkuk buah. Ikon yang tidak diberi kode tidak memiliki makna yang lebih dalam, gambarnya persis seperti yang ditampilkan.

Media terbaik saat ini yang mampu menghubungkan manusia di seluruh dunia dengan bahasa gambar yang dapat melaporkan peristiwa umat manusia secara ringkas dan efektif adalah foto jurnalistik. Seluruh peristiwa yang melanda seluruh dunia begitu mudahnya untuk diceritakan melalui foto jurnalistik. Semua disajikan dengan detail melalui bidikan pewarta foto yang menghasilkan foto jurnalistik hasil dari realitas dan fakta yang terjadi, bukan hanya menarik mata memandangnya namun juga syarat akan nilai berita yang memiliki makna dalam peristiwa yang disajikan menjadi sebuah pengetahuan.

Kesimpulan

Kesimpulan semiotika pada fotografi adalah bahwa fotografi merupakan bentuk komunikasi visual yang menggunakan tanda-tanda atau simbol-simbol untuk menyampaikan pesan atau makna. Melalui analisis semiotik, kita dapat memahami bagaimana elemen-elemen seperti komposisi, warna, pencahayaan, dan subjek dalam sebuah foto dapat mengungkapkan makna yang mendalam dan kompleks. Fotografi tidak hanya merekam realitas visual, tetapi juga membentuknya melalui penggunaan tanda-tanda yang dipahami dalam konteks budaya dan sosial tertentu.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seni dan Desain grafis

SIMBIOSIS MUTUALISME FILM

Analisis semiotika Roland Barthes pada lagu Payung teduh "Resah "